This site uses cookie, to continue browsing this site means you agree to our cookie policy Find out more here. Use Latest Chrome version for the best experience.
Akhir-akhir ini masyarakat heboh dengan isu kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen, yang mulai berlaku 1 Januari 2025.
Kenaikan PPN tersebut jelas memantik berbagai reaksi pro dan kontra dari berbagai kalangan. Pemerintah menjelaskan kalau kenaikan PPN 12 persen merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Berawal dari kebijakan Presiden saat itu, Joko Widodo yang mengirimkan surat ke DPR pada 5 Mei 2021 saat membahas RUU HPP (saat itu bernama RUU KUP).
DPR lalu membentuk panitia kerja pada 28 Juni 2021 dan akhirnya disahkan di tingkat I pada 29 September 2021. Lalu 29 Oktober 2021, Jokowi menerbitkan UU HPP yang menyebutkan kalau PPN dinaikan secara bertahap (11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025).
Baca juga: Kabinet Merah Putih Targetkan Ekonomi Tumbuh 8%
Jokowi meyakini UU HPP dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mendukung pemulihan ekonomi lebih cepat. Untuk itu, perlu strategi konsolidasi fiskal yang fokus pada perbaikan defisit anggaran serta peningkatan rasio pajak.
Di penghujung tahun 2024, Presiden Prabowo bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani membuat kejutan untuk mengakhiri bola liar terkait isu kenaikan 12 persen ini. Secara resmi keduanya mengumumkan kalau PPN 12 persen hanya berlaku untuk kategori barang mewah.
Adapun jenis barang yang dikenakan PPN 12% merujuk pada Pasal 2 ayat (3) PMK 131/2024, yang menyebutkan kalau tarif PPN 12% berlaku untuk kendaraan bermotor dan barang selain kendaraan bermotor yang telah menjadi objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Kategori barang mewah yang dikenai PPnBM diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2020. Ada dua kelompok barang mewah yang dikenakan PPnBM, yaitu kendaraan bermotor dan barang selain kendaraan bermotor.
Ketentuan pengenaan PPnBM atas kendaraan bermotor juga diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.010/2021, yang terakhir diubah dan diganti dengan PMK Nomor 42/PMK.010/2022.
Baca juga: Mengintip Ekonomi Indonesia Tahun 2025
Sementara, barang mewah selain kendaraan bermotor diatur dalam PMK Nomor 96/PMK.03/2021 yang terakhir diubah dengan PMK Nomor 15/PMK.03/2023.
Setidaknya ada lima kelompok barang selain kendaraan bermotor yang dikenakan PPnBM, diantaranya sebagai berikut.
Hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya
Pesawat udara, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga
Balon udara
Peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara
Kapal pesiar mewah, kecuali untuk kepentingan negara, angkutan umum atau usaha pariwisata
Dengan pengumuman resmi yang disampaikan Prabowo dan Sri Mulyani pada 31 Desember 2024 malam itu, setidaknya ada beberapa poin penting terkait PPN 12 persen yang isunya sempat menuai pro dan kontra. Diantaranya:
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen tidak serta merta berlaku untuk semua barang. Kenaikan ini terutama ditujukan untuk barang-barang yang tergolong mewah.
Barang mewah yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan, yaitu:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2023: Mengatur jenis Barang Kena Pajak (BKP) selain kendaraan bermotor yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Contohnya adalah hunian mewah, kapal pesiar mewah, dan pesawat udara (kecuali untuk angkutan niaga dan keperluan negara).
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.010/2021: Mengatur jenis kendaraan bermotor yang dikenai PPnBM (yang juga tergolong mewah).
Baca juga: Dampak Langsung Jaringan Tol Terhadap Bisnis Logistik
Meskipun tarif PPN 12 persen resmi berlaku, barang dan jasa yang tidak tergolong mewah tidak mengalami kenaikan terdampak langsung karena adanya penyesuaian Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
Barang Mewah (dengan PPnBM): PPN dihitung 12 persen dikalikan dengan harga jual atau nilai impor (12% x harga jual/nilai impor).
Barang dan Jasa Non-Mewah: PPN dihitung dengan menggunakan DPP berupa nilai lain, yaitu 11/12 dari harga jual, nilai impor, atau penggantian. Lalu dikalikan dengan tarif PPN 12 persen (12% x 11/12 x harga jual/nilai impor/penggantian). Mekanisme ini memastikan nilai PPN yang dibayar masyarakat untuk barang non-mewah tetap sama meskipun tarif PPN naik jadi 12%.
Formula DPP nilai lain 11/12 tidak berlaku untuk:
Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menggunakan DPP berupa nilai lain yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri.
PKP yang menggunakan DPP berupa besaran tertentu. Untuk kedua pengecualian ini, pemungutan, penghitungan, dan penyetoran PPN dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan kata lain, pemerintah menggunakan mekanisme penyesuaian DPP untuk melindungi masyarakat dari dampak langsung kenaikan tarif PPN pada barang dan jasa kebutuhan sehari-hari.
Pro kontra kenaikan PPN 12 persen berakhir dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 yang ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 31 Desember 2024 (PMK 131/2024).
Dengan isu yang kian memanas, pemerintah akhirnya mencari jalan tengah, “utak-atik formula” terkait perubahan PPN yang sudah diamanatkan UU HPP Tahun 2021 tetap dijalankan, tapi juga tidak memberatkan masyarakat kelas menengah kebawah.
Nah, itulah beberapa informasi tentang isu PPN 12 persen yang santer diberitakan sejak beberapa waktu terakhir. Jangan lupa baca artikel lainnya seputar bisnis, khususnya industri transportasi dan logistik di halaman blog website SERA.
PT Serasi Autoraya atau SERA merupakan bagian dari grup Astra yang telah eksis sejak 34 tahun terakhir. SERA punya tiga lini bisnis utama, diantaranya TRAC dengan layanan sewa kendaraan perusahaan dan personal, SELOG yang menawarkan jasa logistik, serta balai lelang IBID.
Informasi lain tentang SERA serta jaringan bisnis yang dimilikinya, jangan lupa follow instagram @serasiautoraya serta LinkedIn Serasi Autoraya.